Banyak kajian para ahli tentang kekepalasekolahan yang telah dituangkan baik dalam bentuk buku, makalah, maupun tulisan di media massa. Namun rata-rata sepakat menguraikan bahwa kepala sekolah merupakan tokoh kunci keberhasilan suatu sekolah. De Roche (1987) mengungkapkan bahwa tidak ada sekolah yang baik tanpa kepala sekolah yang baik. Karena itu wajar kalau dikatakan "the key person" keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah.
Tanpa mengenyampingkan peran yang kolaboratif para guru yang tergabung dalam sistem proses manajemen sekolah Sergiovanni (1987) juga mengungkapkan bahwa tidak ada siswa yang tidak dapat dididik, yang ada adalah guru yang tidak berhasil mendidik. Tidak ada guru yang tidak berhasil mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang tidak mampu membuat guru berhasil mendidik". Sehubungan dengan itu pula Pokja Penyusunan Standar Pengembangan Mutu Kepala Sekolah yang diketuai oleh Prof.DR. Ibrahim Bafadhal mengungkap hasil penelitian kekepalasekolahan berakhir pada kesimpulan bahwa keberadaan kepala sekolah yang mampu memerankan dirinya secara efektif dan efisien dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya kualitas atau mutu sekolah.
Jika kita membalik sejarah dua dekade sebelumnya sampai sekarang ini, maka ketika ditanyakan siapa kepala sekolah ? Seberapa besarkah peran dan tanggung jawab, atau tugas dan fungsi seorang kepala sekolah dalam memimpin roda pendidikan di suatu sekolah ? Jawabannya akan sangat tergantung kapan jawaban itu diberikan. Sampai dengan akhir tahun 80-an seorang kepala sekolah masih merupakan seorang pejabat struktural dengan eselon IV dan merangkap jabatan fungsional sebagai guru. Fungsi dan tugas kepala sekolah yang diatur dengan Kepmendikbud No. 0489/U/1992 untuk SMU dan Kepmendikbud No.054/U/1993 untuk SLTP misalnya, seorang kepala sekolah mempunyai tugas :
(a) menyelenggarakan kegiatan pendidikan;
(b) membina kesiswaan;
(c) melaksanakan bimbingan dan penilaian bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya;
(d) menyelenggarakan administrasi sekolah:
(e) merencanakan pengembangan, pendayagunaan, dan pemeliharaan sarana prasarana;
(f) melaksanakan hubungan sekolah dengan lingkungan, orang tua dan / masyarakat. Kepala sekolah dalam jabatannya itu berfungsi sebagai Edukator, Manajer, Administrator, Supervisor (dibuatkan akronim fungsinya : EMAS).
Namun dalam situasi sekarang ini telah terjadi "perubahan" dalam dua tahap yang "dijanjikan" akan lebih baik. Perubahan pertama terjadi sejak ditetapkan Kepmendikbud RI nomor : 0296/U/1996 tanggal 1 Oktober 1996 sampai dikeluarkannya Kepmendiknas RI Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, seorang Kepala Sekolah tidak lagi sebagai pejabat struktural dengan eselon tertentu. Kepala Sekolah "hanya' seorang guru yang atas dasar kompetensinya diberi tugas tambahan mengelola satuan pendidikan. Jadi seorang kepala sekolah pada dasarnya seorang guru, yaitu seorang guru yang dipandang memenuhi syarat tertentu dalam memangku jabatan professional sebagai pengelola satuan pendidikan.
Masih bisa dipahami jika status yang serba mendua tersebut masih disandang seorang kepala sekolah, karena payung hukum untuk menjadi kepala sekolah profesional memang masih belum memadai. Untuk menjadikan kepala sekolah sebagai jabatan professional tentu akan berkaitan dengan bebrapa hal seperti penggajian, kode etik, pembinaan profesi, organisasi profesi, dan hal lain yang diperlukan untuk suatu profesi. Belum siapnya hal-hal tersebut maka seorang kepala sekolah masih harus menginjakkan kakinya di wilayah profesi sebagai guru.
Jika memperhatikan semakin meluasnya tugas dan fungsi / peran kepala sekolah di abad millennium ini maka memang sudah saatnya jabatan kepala sekolah berdiri tegak pada satu profesi. Ketika Rambu-rambu Penilaian Kinerja Sekolah (khususnya SLTP an SMU) diluncurkan oleh Depdiknas di tahun 2000, tanggung jawab kepemimpinan seorang kepala sekolah mengacu pada tiga hal yaitu Input, Process, dan Output atau MPK (Masukan, Proses, Keluaran). Dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan komponen proses inilah fungsi / peran seorang kepala sekolah sudah semakin meluas dibanding sebelumnya. Kinerja seorang kepala sekolah harus dilihat pada komponen EMASLIM (Educator, Manager, Administrator, Supervisor, Leader, Innovator, Motivator).
Bahkan ranah Entrepreneurship juga harus menjadi garapan seorang kepala sekolah. Sejak dikembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di tahun 2000-an seorang kepala sekolah harus sanggup mengembangkan kegiatan produksi / jasa sekolah sebagai sumber belajar, harus mampu pula menjadi seorang pelaksana proyek bangunan untuk swakelola block grant di lingkungan sekolahnya, dan peran lainnya yang terkadang bisa menyebabkan munculnya anggapan bahwa seorang kepala sekolah sudah melakukan kesalahan dan penyimpangan karena tidak lazimnya ditemui pada dua dekade yang lalu.
Kini, perubahan tahap kedua berjalan satu bulan lebih sudah berlalu. Sejak 17 April 2007 Mendiknas mengeluarkan peraturan yang sangat penting menyangkut pengelolaan setiap lembaga pendidikan khususnya sekolah-sekolah di negeri ini. Ditengah berhembus kencangnya tudingan tentang rendahnya mutu pendidikan kita saat ini. Mendiknas RI dengan Peraturan Mendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tertanggal 17 April 2007 menetapkan Standar Kepala Sekolah / Madrasah sebagai salah satu standar ketenagaan di antara delapan standar yang harus ditetapkan untuk mewujudkan Standar Nasional Pendidikan kita yang bermutu.
Untuk mendukung Standar Nasional Pendidikan kita menurut Permendiknas tersebut seseorang yang akan diangkat menjadi kepala sekolah wajib memenuhi standar kepala sekolah / madrasah yang berlaku nasional. Standar Kepala Sekolah dimaksud adalah sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan menteri dimaksud, yang meliputi Standar Kualifikasi dan Standar Kompetensi.
Adapun Standar Kualifikasi dimaksud meliputi :
1) Kualifikasi Umum :
(a) Pendidikan Minimum Sarjana (S-1) atau Diploma IV (dalam draft semula diutamakan
S-2);
(b) Berusia setinggi-tingginya 56 tahun saat diangkat sebagai kepala sekolah;
(c) Pengalaman mengajar minimal 5 tahun menurut jenjang sekolahnya;
(d) Pangkat minimal III/c bagi PNS.
2) Kualifikasi Khusus menyangkut :
(a) Berstatus sebagai guru sesuai jenjang mana akan menjadi kepala sekolah;
(b) Mempunyai sertifikat pendidik sebagai guru sesuai jenjangnya;
(c) Mempunyai sertifikat kepala sekolah sesuai jenjangnya yang diterbitkan oleh lembaga
yang ditetapkan Pemerintah.
Berkenaan dengan Standar Kompetensi, seseorang dapat diangkat sebagai Kepala Sekolah jika dia memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut :
(a) Kompetensi kepribadian;
(b) Kompetensi Manajerial;
(c) Kompetensi Kewirausahaan;
(d) Kompetensi Supervisi;
(e) Kompetensi Sosial.
Dilihat dari perspektif peningkatan mutu input pendidikan Permen ini merupakan suatu kemajuan positif dalam upaya mencari dan menetapkan figur pengelola sekolah yang bermutu. Namun dalam rangka profesionalisasi jabatan kepala sekolah menuju terwujudnya kepala sekolah yang mampu mengemban dan mengembangkan tugas dan fungsinya terlihat masih belum sepenuhnya akan dapat diwujudkan.
Jika Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain sesuai kekhususannya, maka setiap Pendidik memang merupakan Tenaga Kependidikan, tetapi setiap Tenaga Kependidikan belum tentu seorang Pendidik / Guru. Kasubdit Pendidikan Menengah Ditjen PMPTK Depdiknas dalam suatu Seminar Nasional tentang Kepala Sekolah mengungkapkan pula tentang Kebijakan Direktorat Tenaga Kependidikan masa sekarang ini bahwa Tenaga Kependidikan itu meliputi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Pustakawan, Laboran, dan Tenaga Tata Laksana / Administrasi Sekolah.
Berarti seorang Kepala Sekolah walaupun dipersyaratkan harus berasal dari seorang guru namun setelah diangkat sebagai kepala sekolah maka yang bersangkutan sebaiknya tidak lagi berstatus Guru / Pendidik melainkan sebagai Tenaga Kependidikan / Kepala Sekolah Profesional dengan tugas dan fungsi yang sudah jelas memerlukan perhatian khusus layaknya profesi kependidikan lain seperti Pengawas Sekolah, Laboran, dan Pustakawan. Dalam beberapa kesempatan kegiatanpun saat ini seringkali seorang kepala sekolah tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang diperuntukkan bagi guru.
Memperhatikan pasal-pasal pada Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ternyata para Calon Kepala Sekolah dan Kepala Sekolah dihadapkan pada penafsiran ganda. Artinya kualifikasi dan kompetensi tersebut bisa diartikan sebagai syarat memasuki wilayah profesi kepala sekolah. Setelah yang bersangkutan diangkat sebagai kepala sekolah maka statusnya sebagai pendidik / guru menjadi lepas. Namun bisa pula ditafsirkan sebagai memperkuat status lama yakni "hanya" seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Jika itu yang terjadi maka sebelah kakinya masih menginjakkan ke wilayah profesi guru, sebelah lagi menginjak profesi kepala sekolah.
Sebenarnya sah-sah saja ketika seorang kepala sekolah berharap bahwa dengan berlakunya Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ini akan ada jalan yang lurus untuk mengembangkan profesi kekepalasekolahan sebagai suatu profesi "berdaulat" agar kinerja dan upaya peningkatannya semakin dapat dipacu lebih kencang lagi. Bukan menjadikan kita bersikap skeptis yang cenderung pessimis atas berlakunya Permendiknas terbaru tersebut. Namun jika statusnya "hanya" seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah nampaknya akan ada hal-hal yang membatasi kesungguhan upaya meningkatkan kinerja tersebut. Irama kinerja kepala sekolahpun akan tetap diiringi lagu lama dengan judul "Anda Bukan Pejabat Struktural" atau "Jangan Kau Samakan Tunjanganmu Dengan Pejabat Eselon" atau mungkin judul lainnya.
Permendiknas yang dinyatakan mulai berlaku tanggal 17 April 2007 tersebut juga tidak memberikan masa transisi sehingga rawan pelanggaran terhadap Permen tersebut. Dengan "wajib"nya dipenuhi standar kepala sekolah yang berlaku nasional tersebut dikaitkan dengan belum terlaksananya Uji Sertifikasi Guru dan pemberian sertifikatnya, maka tertutuplah pintu bagi Cakep (Calon Kepala Sekolah) yang sudah memiliki Sertifikat Diklat Cakep namun belum memiliki Sertifikat Pendidik sebagai Guru untuk diangkat sebagai Kepala Sekolah. Karena salah satu persyaratan untuk diangkat sebagai kepala sekolah yakni memiliki sertifikat pendidik sebagai guru belum terpenuhi. Jika Bupati / Walikota mengangkat Kepala Sekolah yang berasal dari guru yang belum disertifikasi maka hal itu bisa dianggap bertentangan dengan Permendiknas tentang Standar Kepala Sekolah ini.
Disisi lain penetapan Standar Kepala Sekolah ini memang sangat positif dimasa keterbukaan dengan akuntabilitas publik yang semakin baik sekarang ini. Permen ini tentu tidak berdiri sendiri sebagai satu piranti hukum dalam mengatur dan upaya meningkatkan mutu Standar Pendidikan Nasional kita. Ditjen PMPTK telah menyusun suatu pedoman tentang Pengembangan Mutu Kepala Sekolah untuk kedua jalur yakni dari rekruitment calon kepala sekolah dan jalur peningkatan mutu kepala sekolah yang sudah dan sedang menjabat.
Untuk bisa diangkat sebagai Kepala Sekolah seorang guru yang lulus seleksi harus mengikuti Sertifikasi melalui Diklat Cakep 900 jam yang diakhiri dengan Uji Kompetensi. Jika dinyatakan lulus sebagai Cakeppun masih harus melalui Uji Publik di hadapan beberapa unsur stake-holders dimana sekolah itu berada. Jika uji publik (semacam pemaparan visi dan misi lengkap dengan beberapa perencanaan) ini dapat dilalui barulah yang bersangkutan dapat diangkat dan ditempatkan di suatu sekolah sebagai kepala sekolah definitif. Sedangkan bagi kepala sekolah yang sedang menjabat, prosesi peningkatan mutu dilakukan dengan Uji Kompetensi
Akankah Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ini dapat diimplementasikan dalam pengangkatan dan peningkatan kinerja kepala sekolah di setiap kabupaten / kota ? Ataukah dengan perundang-undangan yang menyangkut Otonomi Daerah maka Permendiknas ini akan dapat dimandulkan. Entahlah ! Apapun yang tersurat pada Permendiknas ini menunjukkan adanya telaahan dan langkah menuju profesionalisasi Kepala Sekolah yang memang belum punya organisasi profesi seperti PGRI, ABKIN, IDI, dan organisasi profesi lainnya. Siapa tahu, bulan depan atau tahun depan, atau lima tahun ke depan terbentuk Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia ( AKSI ), sehingga pengembangan tugas dan fungsi kepala sekolah akan lebih efektif lagi.
Minggu, 24 Mei 2009
Standar Kepala Sekolah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda